Jumat, 02 Mei 2014


SEJARAH PENURUNAN,PENULISAN dan PEMELIHARAAN Al-QUR’AN

BABI

PENDAHULUAN

  1. Latar belakang masalah

    Pada Zaman Rasulullah, Ayat Al-Qur'an tidak dikumpulkan atau dibukunan seperti sekarang. Namun disebabkan beberapa faktor, maka ayat Al-Qur'an dimulai dikumpulkan atau dibukukan, yaitu dikumpulkan didalam satu Mushaf. Pengumpulan Al-Qur'an pada masa Nabi hanya dilakukan pada dua cara yaitu dituliskan melalui benda-benda seperti yang terbuat dari kulit binatang, batu yang tipis dan licin, pelapah kurma, tulang binatang dan lain-lain. Tulisan-tulisan dari benda-benda tersebut dikumpulkan untuk Nabi dan beberapa diantaranya menjadi koleksi pribadi sahabat yang pandai baca tulis. Tulisan-tulisan melalui benda yang berbeda tersebut memang dimiliki oleh Rasulullah namun tidak tersusun sebagaimana mushaf yang sekarang ini. Pemeliharaan ayat-ayat Al-Qur'an juga dilakukan melalui hafalan baik oleh Rasulullah maupun oleh sahabat-sahabat beliau.[]

    Al-Qur'an adalah suatu kitab yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW secara berkelompok-kelompok sejak malam tanggal 17 Ramadhan tahun ke-41 dari kelahiran beliau hingga 9 Dzulhijjah 10 H, dan membacanya bernilai ibadah. Kitab itu kemudian dibukukan dalam sebuah mushaf melalui suatu proses "penukilan" secara mutawatir.[]

    Pesan komunikasi yang telah melewati perantara dari seorang tertahap orang lain, terlebih melewati frekuensi jumlah orang yang banyak akan meragukan keabshahan pesan alsi tersebut. Selain itu, rentan waktu yang cukup lama juga amat berpengaruh terhadap nilai dari pesan. Yang menarik adalah seperti apa membuktikan bahwa pesan Al-Qur'an adalah sesuatu yang telah ditetapkan berdasarkan ketetapan Allah.


     

  2. Rumusan masalah

    Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulismerumuskan masalah sebagai berikut :

    1. Bagaimana sejarah penurunan Al-Quran
    2. Bagaimana sejarah penulisan Al-Qur'an pada masa nabi dan khulafaurrasyidin
    3. Bagaimana sejarah pemeliharaan Al-Qur'an


       

    1. Metode pengumpulan data

      Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penyusunan makalah ini adalah studi kepustakaan. Dengan membaca dari berbagai buku-buku, baik itu buku yang berkaitan langsung dengan ilmu Al-qur'an , ataupun sumber yang secara khusus membahas mengenai proses penulisan Al-qur'an. Selain dari studi kepustakaan penyusun juga melakukan studi literatur dari situs internet yang membahas mengenai sejarah penurunan , penulisan pemeliharaan Al-Qur'an.


       

    2. Tujuan

      Adapun tujuan dri penyusunan makalah ini adalah sebagai berikut :

      1. Mampu menjelaskan sejarah penurunan Al-Qur'an
      2. Mampu menjelaskan sejarah penulisan serta pemeliharaan Al-Qur'an
      3. Mampu menjelaskan proses peliharaan Al-Qur'an

      4.  
    3. Manfaat

      Adapun manfaat dari penyusunan makalah ini adalah :

      1. Meningkatkan pemahaman akan pentingnya mengetahui sejarah penurunan, penulisan, dan pemeliharaan Al-Qur'an
      2. Meningkatkan mengenai pemahaman tentang hal- hal yang berkaitan dengan ulumul hadits
      3. Sebagai bahan mata kuliah ulumul hadits


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 

BAB II

PEMBAHASAN

SEJARAH PENURUNAN, PENULISAN dan PEMELIHARAAN AL-QUR'AN

  1. Sejarah Penurunan Al-Qur'an

    Al-Qur'an diturunkan dalam tempo 22 tahun 2 bulan 22 hari, yaitu mulai malam 17 ramadhan tahun 41 dari kelahiran Nabi, sampai 9 Dzulhijjah Haji wada' tahun 63 dari kelahiran Nabi atau tahun 10 H. []

Proses turunnya Al-Qur'an kepada Nabi Muhammad ada tiga tahapan, yaitu:

  1. Al-Qur'an turun secara sekaligus dari Allah ke laul al-mahfuzh , yaitu suatu tempat yang merupakan catatan tentang segala ketentuan dan kepastian Allah.
  2. Al-Qur'an diturunkan dari lauh al-mahfuhz itu ke bait al-izzah (tempat yang berada di langit dunia).
  3. Al-Qur'an diturunkan dari bait al-izzah ke dalam hati Nabi dengan jalan berangsur-angsur . Al-Qur'an diturunkan melalui Nabi Muhammad SAW melalui Malaikat Jibril, tidak secara sekaligus, melainkan turun sesuai kebutuhan. Bahkan sering wahyu turun untuk menjawab pertanyaan para sahabat yang dilontarkan kepada Nabi atau untuk membenarkan tindakan Nabi SAW.

Al-Quran diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW melalui berbagai cara, antara lain:


 

a. Malaikat Jibril memasukkan wahyu itu ke dalam hati Nabi Muhammad SAW tanpa memperlihatkan wujud aslinya. Nabi SAW tiba-tiba saja merasakan wahyu itu telah berada di dalam hatinya.


 

b. Malaikat Jibril menampakkan dirinya sebagai manusia laki-laki dan mengucapkan kata-kata di hadapan Nabi SAW.

c. Wahyu turun kepada Nabi SAW seperti bunyi gemerincing lonceng.

Menurut Nabi SAW, cara inilah yang paling berat dirasakan, sampai-sampai Nabi SAW mencucurkan keringat meskipun wahyu itu turun di musim dingin yang sangat dingin.

d. Malaikat Jibril turun membawa wahyu dengan menampakkan wujudnya yang asli.

Setiap kali mendapat wahyu, Nabi SAW lalu menghafalkannya. Beliau dapat mengulangi wahyu yang diterima tepat seperti apa yang telah disampaikan Jibril kepadanya. Hafalan Nabi SAW ini selalu dikontrol oleh Malaikat Jibril.[]

Hikmah diturunkannya al-Qur'an secara berangsur-angsur, antara lain sebagai berikut:

  1. Memantapkan hati Nabi
  2. Menentang dan melemahkan para penentang Al-Qur'an
  3. Memudahkan untuk dihapal dan dipahami
  4. Mengikuti setiap kejadian dan melakukan penahapan dalam penetapan syari'at
  5. Membuktikan dengan pasti bahwa Al-Qur'an turun dari Allah yang Mahabijaksana.


 

Para sarjana Muslim mengklasifikasikan surat-surat Al-Quran sebagai surat Makkiyyah dan Madaniyyah. Mereka pula mengemukakan empat perspektif dalam mendefinisikan terminologi Makkiyyah dan Madaniyyah. Keempat perspektif itu adalah:

  1. Masa Turun(zaman an-nuzul)

    Dari perspektif masa turun, mereka mendefinisikan kedua terminologi itu sebagai berikut:

    1. Makkiyyah ialah ayat-ayat yang turun sebelum Rasulullah hijrah ke Madinah, kendatipun bukan turun di Mekah, sedangkan
    2. Madaniyyah ialah ayat-ayat yang turun sesudah Rasulullah hijrah ke Madinah, kendatipun bukan turun di Madinah.
  2. Tempat Turun(makan an-nuzul)

    Dari perspektif tempat turun, mereka mendefinisikan kedua terminologi itu sebagai berikut:

    1. Makiyyah ialah ayat-ayat yang turun di Mekah dan sekitarnya seperti Mina, Arafah, dan Hudaibiyyah, sedangkan
    2. Madaniyyah adalah ayat-ayat yang turun di Madinah dan sekitarnya, seperti Ubud, Quba, dan Sul'a.
  3. Objek Pembicaraan

    Dari perspektif objek pembicaraan, mereka mendefinisikan kedua terminologi itu sebagai berikut:

    1. Makiyyah ialah ayat-ayat yang menjadi khitab bagi orang-orang Mekah, sedangkan
    2. Madaniyyah ialah ayat-ayat yang menjadi khitab bagi orang-orang Madinah.
  4. Tema Pembicaraan(maudu)


 


 


 

  1. Sejarah Penulisan Al-Qur'an
    1. Masa Nabi

    Kerinduan Nabi terhadap kedatangan wahyu tidak saja diekspresikan dalam bentuk hafalan, tetapi juga dalam bentuk tulisan. Suatu hal yang perlu diperhatikan dalam pengumpulan Al-Qur'an pada masa Rasulullah SAW ini adalah bahwa pada pengumpulan tersebut belum tersusun dalam suatu "mushaf" tertentu, dan surat-suratnya pun belum berurutan sebagaimana yang disaksikan yang sekarang ini. Pencatatan Al-Quran pada masa ini masih tercecer dan berserakan pada pelepah kurma, batu, kulit-kulit atau tulang-tulang binatang.[]

Faktor-faktor yang mendorong penulisan Al-Qur'an pada masa Nabi adalah:

  1. Mem-back up hapalan yang telah dilakukan oleh Nabi dan para sahabat
  2. Mempresentasikan wahyu dengan cara yang paling sempurna, karena bertolak dari hafalan para sahabat saja tidak cukup karena terkadang mereka lupa atau sebagian dari mereka sudah wafat. Adapun tulisan akan tetap terpelihara walaupun pada masa Nabi, Al-Qur'an tidak ditulis di tempat tertentu.[]
  1. Pada Masa Khulafa' Al-Rasyidin
    1. Pada Masa Abu Bakar Ash-Shiddiq

      Pada dasarnya, seluruh Al-Qur'an sudah ditulis pada waktu Nabi masih ada. Hanya saja, pada saat itu surat-surat dan ayat-ayatnya ditulis dengan terpencar-pencar pada pelepah kurma, batu halus, kulit, tulang unta, dan bantalan dari kayu. Abu Bakar kemudian berinisiatif menghimpun semuanya. Usaha pengumpulan tulisan Al-Qur'an dilakukan Abu Bakar terjadi setelah Perang Yamamah pada tahun 12 H. Peperangan yang bertujuan menumpas habis para pemurtad yang juga para pengikut Musailamah Al- Kadzdzab ternyata telah menewaskan 700 orang sahabat penghapal Al-Qur'an syahid. Kekhawatiran akan semakin hilangnya para penghapal Al-Qur'an, sehingga kelestarian Al-Qur'an juga ikut terancam membuat Abu Bakar mengumpulkan Al-Quran dari berbagai sumber, baik yang tersimpan di dalam hapalan maupun tulisan. .[ ]

      Mushaf yangdi buat pada masa Abu Bakar ini mempunyai beberapa keistemewaan sebagai berikut:

      1. Mushaf itu dibuat atas dasar penelitian yang mendetail dan memiliki kemantapan yang sempurna.
      2. Yang tercatat dalam mushaf hanyalah bacaan yang pasti dan tidak mengalami nasakh bacaanya.
      3. Menurut ijma', bahwa yang tertulis dalam mushaf itu adalah benar-benar Al-Qur'an.
      4. Mushaf itu meliputi qira'ah, sab'ah yang dinukil berdasar riwyatyang benar-benar shahih.[]
    2. Pada Masa 'Utsman bin 'Affan

      Pada masa 'Utsman bin 'Affan' terjadi perbedaan-perbedaan serius dalam qira'at (cara membaca) Al-Qur'an. Selama pengiriman ekspedisi militer ke Armenia dan Azerbaijan, perselisihan tentang bacaan Al-Qur'an muncul di kalangan tentara-tentara Muslim, perselisihan ini menyebabkan pimpinan tentara Muslim, Hudzaifah, melaporkannya kepada khalifah 'Utsman dan mendesaknya agar mengambil langkah guna mengakhiri perbedaan-perbedaan bacaan tersebut. Khalifah Utsman berembuk dengan para sahabat senior Nabi, dan akhirnya menugaskan Zaid bin Tsabit "mengumpulkan" Al-Quran. Bersama Zaid, ikut bergabung tiga anggota keluarga Mekah terpandang:'Abdullah bin Zubair, Sa'id bin Al-'Ash, dan 'Abd Ar-Rahman bin Al-Harits.

      Inisiatif Ustman untuk menyatukan penulisan Al-Quran tampaknya sangat beralasan. Alasan yang mendasari tersebut dilihat dari perbedaan cara membaca Al-Quran pada saat itu sudah berada pada titik yang menyebabkan umat Islam saling menyalahkan dan ujungnya terjadi perselisihan di antara mereka.


       

      Ciri-ciri mushaf pada khalifah Utsman bin Affan yaitu :

      1) Semua ayat Al-Quran berdasarkan riwayat yang mutawatir.

      2) Ayat-ayat yang dimansukh/dinasakh tidak ada.

      3) Surah-surah atau ayat-ayatnya ditulis dengan tertib sebagaimana Al-Quran yang

      berada ditangan umat Islam sekarang ini.

      4) Pendapat sahabat nabi sebagai penjelasa ayat tidak ditulis.

      5) Mushaf yang ditulis mencakup tujuh huruf dimana Al-Quran diturunkan.[]

    3. Penyempurnaan Penulisan setelah Masa Khalifah

Mushaf yang ditulis Utsman tidak memiliki harakat dan tanda titik sehingga dapat dibaca dengan salah satu qiraat yang tujuh. Setelah banyak orang non-Muslim memeluk Islam, mereka merasa kesulitan membaca mushaf Utsman itu. Sehingga pada masa Khalifah 'Abd Al-Malik ketidakmemadainya mushaf ini dimaklumi karena itu pula penyempurnaan mulai dilakukan. Upaya penyempurnaan itu tidak berlangsung sekaligus, tetapi bertahap dan dilakukan oleh setiap generasi sampai abad III H(akhir abad IX M).

        Upaya penulisan Al-Quran dengan tulisan yang bagus merupakan upaya lain yang telah dilakukan generasi terdahulu. Setelah upaya penulisan Al-Quran itu selesai maka dilanjutkan untuk dicetak dan disebarluaskan kepada umat Islam. Pertama kalinya Al-Quran dicetak di Bunduqiyyah pada tahun 1530 M, tetapi begitu keluar cetakan Al-Quran tersebut segera dimusnahkan oleh penguasa gereja. Kemudian cetakan selanjutnya muncul atas usaha seorang Jerman bernama Hinkelman pada tahun 1694 M di Hamburg(Jerman). Lalu disusul lagi oleh Marracci pada tahun 1698 di Padoue. Dan sungguh sangat disayangkan bahwa perintis penerbitan Al-Quran pertama kali bukan dari kalangan muslim

        Penerbitan Al-Quran dengan lebel Islam baru dimulai pada tahun 1787. Yang menerbitkannya adalah Maulaya 'Utsman, cetakan ini lahir di Saint-Peterbourg, Rusia, atau Leningrad, Uni Soviet sekarang. Lahir lagi cetakan di Kazan. Lalu terbit lagi di Iran. Lima tahun kemudian, yakni tahun 1833 terbit lagi mushaf cetakan di Tabriz. Setelah dua kali diterbitkan di Iran, setahun kemudian(1834) terbit lagi cetakan di Leipzig, Jerman.


 


 


 


 


 


 


 


 

C. Sejarah Pemeliharaan Al-Quran

Pada permulaan islam bangsa Arab adalah satu bangsa yang buta huruf amat sedikit di antara mereka yang pandai menulis dan membaca. Mereka belum mengenal kertas, sebagaimana kertas yang di kenal sekarang. Perkataan "alwaraq"(daun) yang lazim pula dipakaikan dengan arti "kertas"di masa itu, hanyalah dipakaikan pada daun kayu saja. Adapun kata "alqirthas" yang daripadanya terambil kata-kata Indonesia "kertas" dipakaikan oleh mereka hanyalah kepada benda-benda (bahan-bahan) yang mereka pergunakan, yaitu: kulit binatang, batu yang tipis, licin pelapah tamar(kurma), tulang binatang dan lain-lain sebagainya. .[]

    Setelah mereka menaklukkan negeri Persia, yaitu sesudah wafatnya Nabi Muhammad shallahu alaihi wa salam, barulah mereka mengetahui kertas. Orang Persia menamai kertas itu"kaqhid", itu pun dipakai pula oleh bangsa Arab semenjak itu. Adapun sebelum masa nabi ataupun di masa Nabi, kata-kata "al kaqhid" itu tidak ada dalam pemakaian bahasa Arab,maupun dalam hadist-hadist Nabi. Kemudian kata-kata "al qirthas" itu pun dipakai pula oleh bangsa Arab kepada apa yang dinamakan "kaqhid" dalam    bahasa    Persia    itu.
    Kitab atau buku tentang apapun, juga belum ada pada mereka. Kata-kata "kitab" di masa itu hanyalah berarti: sepotong kulit, batu,atau tulang dan sebagainya yang telah bertulis, atau berarti surat, seperti kata "kitab" dalam ayat surat (27) An Naml.


.....
اذْهَب بِّكِتَابِي هَذَا فَأَلْقِهْ إِلَيْهِمْ

"Pergilah dengan surat saya,maka jatuhkanlah dia kepada mereka...."...

Begitu juga "kutub"(jama' kitab) yang dikirimkan oleh nabi kepada raja-raja di masanya,untuk menyeru mereka kepada Islam. Karena mereka belum mengenal kitab atau buku sebagai yang di kenal sekarang, sebab itu di waktu Al-Qur'anul Karim itu di bukukan di masa Khalifah Utsman bin Affan, mereka tidak tahu dengan apa Al-Qur'an yang telah di bukukan itu akan dinamai. Bermacam-macamlah pendapat sahabat tentang nama yang harus diberikan.Akhirnya mereka sepakat menamainya dengan "Al Mushhaf" (Ism maf'ul dari ashafa artinya mengumpulkan (shuhuf), jamak dari shahifah, lembaran-lembaran yang telah tertulis).

    Kendatipun keadaan bangsa Arab pada waktu itu masih buta huruf,tetapi mereka mempunyai ingatan yang amat kuat. Pegangan mereka dalam memelihara dan meriwayatkan sya'ir-sya'ir dari pujangga-pujangga dan penyair-penyair mereka, ansab (sinsilah keturunan) mereka,peperangan-peperangan  yang terjadi di antara mereka, peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam masyarakat dan kehidupan mereka tiap hari dan lain sebagainya, adalah sebagai hafalan semata-mata.

    Demikian keadaan bangsa Arab di waktu kedatangan agama Islam itu.Maka dijalankan oleh Nabi suatu cara yang 'amali (praktis) yang selaras dengan keadaan itu dalam menyiarkan Alqur'anul Karim dan memeliharanya. Tiap-tiap di turunkan ayat-ayat itu nabi menyuruh menghafalnya,dan menuliskannya, di batu, kulit binatang, pelapah tamar (pelapah kurma) dan apa saja yang bisa di susun dalam suatu surat. Nabi menerangkan tertib urut ayat-ayat itu. Nabi mengadakan peraturan yaitu Al-Qur'an saja yang boleh dituliskan, selain dari Al-Qur'an hadist atau pelajaran-pelajaran yang mereka dengar dari mulut Nabi, dilarang menuliskannya.Larangan itu dengan maksud supaya Al-Qur'anul Karim itu terpelihara, tidak tercampur aduk dengan yang lain-lain yang juga di dengan dari Nabi.

Nabi menganjurkan supaya Al-Qur'an itu di hafal, selalu di baca, dan diwajibkannya membacanya dalam sembahyang. Dengan jalan demikian banyaklah orang yang hafal Al-Qur'an. Surat yang satu macam, di hafal oleh ribuan manusia, dan banyak yang hafal seluruh nya


 

ù&tø%$#
y7š/uur
ãPtø.F{$#
ÇÌÈ
Ï%©!$#
zO¯=tæ
ÉOn=s)ø9$$Î/
ÇÍÈ
zO¯=tæ
z|¡SM}$#
$tB
óOs9
÷Ls>÷ètƒ
ÇÎÈ
    

3. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah,

4. Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam[1589],

5. Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.


 

[1589] Maksudnya: Allah mengajar manusia dengan perantaraan tulis baca.

    Karena itu bertambahlah keinginan mereka untuk belajar menulis dan membaca, dan bertambah banyaklah orang yang menuliskan ayat-ayat yang telah di turunkan. Nabi sendiri mempunyai beberapa penulis yang bertugas menuliskan Al-Qur'an untuk beliau.Penulis-penulis beliau yang terkenal ialah Ali bin Abi Tholib, Utsman bin Affan, Ubay bin Ka'ab, Zaid bin Tsabit dan Mu'awiyah. Yang terbanyak menuliskan ialah Zaid bin Tsabit dan Mu'awiyah.

    Dengan demikian terdapatlah di masa Nabi tiga unsur yang tolong-menolong memelihara Al-Qur'an yang telah di turunkan itu.
1.Hafalan dari mereka yang hafal Al-Qur'an.
2.Naskah-naskah yang di tulis untuk Nabi.
3.Naskah-naskah yang di tulis oleh mereka yang pandai menulis dan membaca untuk mereka masing-masing

    Dalam pada itu oleh Jibril diadakan ulangan (repetisi) sekali setahun. Di waktu ulangan itu Nabi disuruh mengulang memperdengarkan Al-Qur'an yang telah diturunkan.Di tahun dia wafat ulangan itu di adakan oleh Jibril dua kali. Nabi sendiri sering pula mengadakan ulangan itu terhadap sahabat-sahabatnya,maka sahabat-sahabat itu di suruh beliau membacakan Alqur'an itu di mukanya,untuk menetapkan atau    membetulkan    hafalan     batau    bacaan    mereka.
Ketika Nabi wafat Al-Qur'an itu telah sempurna diturunkan dan telah dihafal oleh ribuan manusia,dan telah dituliskan semua ayat-ayatnya. Mereka telah mendengar Al-Qur'an itu dari mulut Nabi,berkali-kali,dalam sembahyang,dalam pidato-pidato beliau,dalam pelajaran-pelajaran dan lain-lain,sebagaimana Nabi sendiri pun telah mendengar pula dari mereka. Pendeknya Al-Qur'anul Karim adalah di jaga dan terpelihara baik-baik,dan Nabi telah menjalani suatu cara yang amat praktis untuk memelihara dan menyiarkan Al-Qur'an itu,sesuai dengan keadaan bangsa Arab di waktu    itu.


 

    
 

    
 


 


 


 


 


 


 


 


 


 

BAB III

  1. Kesimpulan

    Sejarah Penurunan, penulisan dan pemeliharaan Al-Quran. Al Quran diturunkan kepada nabi Muhammad dengan tiga cara, yaitu pertama malaikat Jibril turun dalam wujud manusianya dan membacakan ayat-ayat Al Quran kepada nabi Muhammad, kemudian beliau mengikutinya. Kedua, adalah Al Quran turun tanpa perantara malaikat Jibril, sehingga tiba-tiba saja ayat-ayat Al Quran tersebut muncul dalam pikiran nabi Muhammad dan yang ketiga adalah Al Quran turun dengan didahului terdengarnya suara gemerincing lonceng yang sangat kuat.

    Ketika diturunkan satu atau beberapa ayat, Rasul saw langsung menyuruh para sahabat untuk menghafalkannya dan menuliskannya di hadapan beliau. Rasulullah mendiktekannya kepada para penulis wahyu. Para penulis wahyu menuliskannya ke dalam lembaran-lembaran yang terbuat dari kulit, daun, kaghid, tulang yang pipih, pelepah kurma, dan batu-batu tipis.

    Terdapat 3 unsur yang dapat memelihara Al-Qur'an yang telah diturunkan, yaitu:

    1. Hafalan dari mereka yang hafal Al-Qur'an.
    2. Naskah-naskah yang ditulis oleh Nabi
    3. Naskah-naskah yang ditulis oleh mereka yang pandai menulis dan membaca untuk mereka masing-masing.
  2. Saran

    Sebagai penulis mengharapkan kita semua dapat memahami dengan baik begitu pentingnya al-Qur'an di dalam kehidupan umat Islam. Dan kami juga mengharpkan kritik dan saran demi kesempurnaan makalah ini, kepada teman-teman dan dosen pembimbing agar makalah ini dapat bermanfaat untuk kita semua. Amin.


     

    Resensi


     

    Gozali.2003. Ulumul Qur'an. Surabaya : CV. Indra Media.

    Syafe'i, Rachmat. 2006. Pengantar Ilmu Tafsir. Bandung: Pustaka Setia.

    http://id.wikipedia.org/wiki/Al-Qur%27an

    http://id.wikipedia.org/wiki/Al-Qur%27an


http://id.wikipedia.org/wiki/Al-Qur%27an


 

Islam dan pluralisme

BAB I

PENDAHULUAN


 

    Tulisan ini dideskripsikan sebagai tugas mata kuliah Islam dan Isu- isu kontemporer. "Islam dan Pluralisme: Suatu Kajian terhadap Islam dan Isu- isu Kontemporer" merupakan tajuk yang dipilih untuk menjelaskan tema "Islam dan Isu- isu Pluralisme". Persoalan yang muncul kemudian bukanlah terletak pada tepat atau tidaknya tajuk ini dipilih untuk mengangkat tema pluralism sebagai salah satu isu kontemporer, akan tetapi, problem yang lebih krosial sebenarnya terletak pada tepat atau tidaknya pluralism diposisikan sebagai salah satu dari isu- isu kontemporer. Sebab, seperti yang pernah ditengarai Dawan Rahardjo dalam tulisannya yang bertajuk "Islam dan Multikulturalisme" yang dipublikasikan pada Buletin Kebebasan Edisi No II/Tahun 2007, karena pluralism cenderung dimaknai negatif sebagai paham menyamakan seluruh agama, maka ada semacam kecendrungan menarik istilah tersebut pada terminology lain yang lebih tepat, yaitu "Multikulturalisme"., karena memang terminology pluralisme dimaksud tidak dapat dimaknai secara parsial sebagaimana yang banyak muncul ditengah masnyarakat Islam.

    Selain persoalan diatas setidaknya ada dua persoalan lagi yang juga penting dikemukakan dalam tema ini:

    Pertama: menyangkut istilah "kontemporer" yang cendrong digunakan orang untuk menggambarkan istilah kekinian, tetapi tidak ada batasan yang jelas mengenai waktu yang menunjukan makna kekinian tersebut.

    Kedua: berkaitan dengan pemaknaan pluralisme itu sendiri. Ketika tema Islam dan pluralisme diangkat kepermukaan, maka ia akan menyulut keberdebatan panjang. Istilah perdebatan tentu menggambarkan adanya dua pandangan yang berbeda, tentu saja perdebatan itu tentu memiliki argumentasi masing- masing. Hal ini dapat berari bahwa pluralisme bukan paham yang ditentang seluruh umat islam dan bukan juga sebaliknya. Dengan kata lain, pluralisme melibatkan dua kelompok yang saling bertentangan, disatu pihak menerima dipihak lain menolaknya.


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 

BAB II

PEMBAHASAN


 

  1. MELACAK MAKNA PLURALISME AGAMA

        Puralisme berasal dari dua kata plural dan isme. Plural berarti jamak dan isme berarti paham. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa arti plural adalah jamak lebih dari satu, pluralis bersifat jamak. Dengan demikian pluralism adalah memahami dan menyadari suatu kenyataan tentang adanya kemajemukan.


     

        Dalam Wikipedia berbahasa Inggris disebutkan "In the social sciences, pluralism is a framework of interaction in which groups show sufficient respect and tolerance of each other, that they fruitfully coexist and interact without conflict or assimilation"


     

        Berdasarkan pengertian tersebut, dapat dipahami bahwa pluralism dalam ilmu sosial merupakan konsep pemahaman tentang kehidupan majemuk (plural) yang harus ditata sedemikian rupa untuk menciptakan suasana saling menghargai dan menghormati guna menghindari konflik. Semetara itu, dalam pengertian yang lain, pluralisme dimaknai juga sebagai filsafat yang mengajarkan ada lebih dari satu macam "kebenaran terakhir",yang dipertentangkan dengan aliran "monisme" atau "dualisme".

        Paham ini muncul akibat reaksi dari tumbuhnya klaim kebenaran oleh masing-masing kelompok terhadap pemikirannya sendiri. Persoalan klaim kebenaran inilah yang dianggap sebagai pemicu lahirnya radikalisasi agama, perang dan penindasan atas nama agama. Konflik horisantal antar pemeluk agama hanya akan selesai jika masing-masing agama tidak menganggap bahwa ajaran agama meraka yang paling benar. Itulah tujuan akhir dari gerakan pluralisme ; untuk menghilangkan keyakinan akan klaim kebenaran agama dan paham yang dianut, sedangkan yang lain salah.

        Dalam wacana yang berkembang berikutnya, pluralisme ternyata tidak saja menyentuh ranah filsafat dan sosiologi, akan tetapi pembahasannya juga turut menyentuh wilayah teologi, bahkan yang terakhir lebih dominan dimakna dari dua aspek sebelumnya (filsafat dan sosiologi). Seperti yang dikatakan Eko Marhaendy beliau, pernah menemukan sebuah artikel bertajuk "Pluralisme Sosiologis Yes, Pluralisme Agama No", karennaya dalam konetks ini pluralisme mulai dilihat dari dua dimensi: sosiologis dan teologis. Pluralisme sosiologis menjadi semacam kondisi yang dapat dimaklumi (yes), sebaliknya pada ranah teologi pluralism masih sulit untuk diterima (no). Namun demikian yang tak kalah menarik, pada saat yang sama demikian banyak opini yang muncul dari dunia Islam mengatakan "No" untuk istilah pluralism dengan alasan apapun.

        Pluralitas yang muncul dalam proses kehidupan bangsa kita ada dua macam, yakni horizontal dan vertikal. Pluralitas horizontal seperti perbedaan etnis atau ras, dan agama. Pluralitas vertikal adalah adalah perbedaan peran politik antara rakyat dengan penguasa, dalam kemampuan ekonomi antara kaya dan miskin, dan dalam tingkat pendidikan antara kaum terpelajar dengan masyarakat awam.

        Manusia sebagai mahkluk sosial dan budaya juga tidak lepas dari kemajemukan tersebut. Kemajemukannya dapat dilihat dari bangsa, suku, bahasa, budaya adat istiadat, tradisi agama.

        Pluralism agama di Indonesia adalah suatu kenyataan sejarah yang tidak bisa diingkari, dan real sebagai suatu kenyataan sejak ratusan tahun yang lalu. Lantas menyatukannya dalam suatu kesatuan, suatu agama adalah suatu yang mustahil, akan tetapi upaya untuk saling adanya understanding diantara penganut agama tersebut adalah suatu yang mungkin dan sangat mungkin dilakukan. Kebijakan inilah yang dilakukan dalam menyikapi pluralisme agama di Indonesia. Pluralisme itu sebenarnya dapat dibagi dua macam pluralism antaragama, yakni terjadinya perbedaan antaragama seperti Islam, Kristen, Hindu, Budha. Dan yang terjadi di dalam lingkungan agama ini terjadi karena adanya perbedaan pemahaman dalam penafsiran kitab suci

        Seperti yang telah diungkapkan terdahulu bahwa dualisme itu di satu sisi adalah merupakan kekayaan dan khazanah, tetapi juga dapat menimbulkan petaka yang serius. Berkenaan dengan ini perlu disampaikan ada beberapa hal yang menyebabkan timbulnya konflik. Tirmizi Thaher mengungkapkan hal ini, sebagai berikut:

    1. Umat beragama sering bersikap untuk memonopoli kebenaran ajaran agamanya dan hal ini dapat memicu umat lain untuk mengadakan "perang suci" yang mengatasnamakan agama.
    2. Merasa benar sendiri sehingga tak ada ruang dialog kritis.
    3. Sikap tersebut dapat membawa implikasi.


     

  2. RESPON ISLAM TERHADAP PLURALISME

    Jika pluralisme agama pada mulanya merupakan wacana yang berkembang di dunia Kristen, pertanyaan yang cukup akurat dikemukakan adalah: bagaimana respon Islam terhadapnya?. Pada prinsipnya, secara sederhana pertanyaan ini telah terjawab melalui paparan terdahulu, bahwa di dunia Islam ada kelompok yang menolak pluralisme tapi ada juga yang menerima, bahkan membelanya. Kelompok yang menolak pluralisme agama memiliki argumen tersendiri yang secara nyata disandarkan kepada Al Qur'an.

    Demikian halnya kelompok yang menerima pluralisme, mereka juga memiliki argumentasi tersendiri yang jelas-jelas disandarkan kepada Al Qur'an yang sama. Pertanyaan (awam) yang kemudian muncul adalah: mana yang benar dari keduanya? Kalau pertanyaan ini dijawab dengan prinsip-prinsip "pluralisme", maka kemungkinan jawaban yang akan diterima adalah: keduanya benar, dan atau, keduanya biasa saja benar tapi bisa juga salah., Perbedaan pandangan yang terjadi di dunia Islam terkait bagaimana "Islam" merespon wacana pluralisme pada dasarnya terletak pada perbedaan dalam memahami pluralisme itu sendiri. Istilah Islam yang diberikan tanda kutip ditekankan sebagai bentuk peniscayaan tentang pluralisme itu sendiri. Berbicara mengenai Islam dari aspek manapun, biasanya membicarakan sesuatu yang banyak atau beragam. Ajiz Azmeh sebagaimana dikutip Luthfi Assyaukanie menyebutkan tidak ada satu Islam, karena Islam selalu tampil dengan wajah yang banyak. Berangkat dari pandangan tersebut Luthfi kemudian menegaskan bahwa apa yang disebut Islam ideal sesungguhnya tidak ada, yang ada hanyalah Islam Sunni, Islam Syiah, Islam NU dan lain-lain. Bagi kalangan yang cenderung liberal, keaneragaman wajah Islam tersebut dipandang sebagai sebuah keniscayaan, mengingat Islam telah melewati sejarah selama lima belas abad hingga mengalami perkembangan yang demikian jauh melampaui Islam awal. Mengingat Islam memiliki wajah yang beragam (plural), maka penulis tidak berpretensi mengemukakan pandangan (repon) Islam terhadap pluralisme hanya pada satu pandangan saja, akan tetapi berupaya mengedepankan keduanya (yang menentang maupun yang menerima). Namun demikian, sekali lagi perlu ditekankan bahwa perbedaan keduanya terjadi karena perbedaan dalam memaknai pluralisme itu sendiri. Kelompok yang menolak pluralisme agama memahami pluralisme agama tersebut sebagai pahak yang berupaya menyamakan seluruh agama yang ada, sebaliknya kelompok yang menerima tidak demikian. Karenanya, dalam perdebatan tentang pluralisme agama boleh jadi keduanya sedang mempersoalkan satu terminologi dengan barang yang berbeda. luralisme merupakan sebuah keniscayaan pada masyarakat yang plural karena pluralitas itu sendiri merupakan sebuah keniscayaan.

    Indonesia merupakan sebuah sampel masyarakat yang plural, dan sejatinya pluralisme merupakan satu hal yang tidak perlu ditolak, termasuk oleh umat Islam sebagai masyarakat dominan yang menghuni bumi Indonesia. Umat Islam bahkan tidak dapat memungkiri bahwa pluralitas merupakan fakta nyata, lantas bagaimana pada saat yang sama pluralisme―sebagai yang lahir dari pluralitas―ditolak oleh. Dalam sebuah kesempatan penulis pernah berdialog dengan aktivis HTI seputar khilafah Islamiyah, penulis bertanya: seandainya cita-cita membangun khilafah Islamiyah yang diperjuangkan rekan-rekan HTI dapat terwujud suatu saat, apakah pemerintahan Islam (khilafah Islamiyah) ketika itu bisa mengakomodir kelompok-kelompok semisal Jamaah Ahmadiyah, JIL atau komunitas Lia Eden – misalnya, sebagai sebuah realitas pada wilayah kekuasaannya?, tanpa celah panjang aktivis HTI tadi menjawab "bisa", bahkan ditopang dengan argumentasi bahwa

    Rasulullah pernah menjadikan seorang Yahudi sebagai salah satu juru tulisnya. Ini merupakan sebuah jawaban luar biasa yang menunjukkan bahwa kelompok semisal HTI yang cenderung dikategorikan radikal juga tidak mengingkari pluralitas, justru memberikan jaminan terhadap pluralitas (dengan mengakomodir berbagai kelompok tadi). Tidak ada pluralisme tanpa pluralitas, demikian sebaliknya, pluralitas mustahil dibangun tanpa pluralisme, yang akan lahir justur disintegrasi jika masyarakat yang plural tidak dibungun atas sebuah pemahaman yang sama ditengah aneka macam perbedaan. Karenanya, bagi masyarakat yang plural, pluralism mestilah menjadi sebuah keharusan. Memang cukup aneh ketika terjadi penolakan terhadap pluralisme oleh umat Islam yang hidup ditengah masyarakat yang plural, terlebih Indonesia. MUI misalnya, sebagai lembaga tempat berkiblat umat Islam Indonesia, tidak mengingkari pluralistas sebagai sebuah keniscayaan, namun tetap mengharamkan pluralism (agama) sebagai faham yang harus dihindari umat Islam.11 Jalaluddin Rakhmat bahkan menyebut MUI tidak paham dengan "pluralisme sebagai gejala sosiologis", sembari menempatkan Dawam Rahardjo sebagai pluralisme politis, serta mengisyaratkan dirinya sebagai pluralisme teologis. Jika demikian, wajarlah pluralisme mendapat penolakan karena maknanya sendiri masih bias dan belum mampu dirumuskan dengan pemahaman yang satu. Sepanjang yang pernah penulis baca dan coba pahami, beberapa tokoh pluralis ternyata mengkonsentrasikan pemikiran dan sikap pluralismenya pada beberapa persoalan yang berbeda, sungguhpun masih memiliki keterkaitan satu dengan yang lainnya.

    Keterkaitan tersebut dapat dilihat dari visinya yang sama, yaitu menumbuhkan sikap toleran tanpa konflik dalam membangun interaksi terhadap yang lainnya. Pluralisme diyakini lahir sebagai gejala sosiologis seperti ditegaskan pada bagian terdahulu dengan kesadaran bahwa keanekaragaman (pluralitas) merupakan sebuah keniscayaan. Karenanya, perlu dibangun sebuah kesepemahaman guna menghindari konflik dan benturan dalam interaksi individu maupun kelompok. Menurut hemat penulis, pluralisme dan relativisme – atau sejenisnya, mestila menjadi dua persoalan yang harus dapat dibedakan. Pluralisme berangkat dari kesadaran bahwa perbedaan itu merupakan sebuah keniscayaan, kita hanya dapat berafilisai dengan komunitas yang berbeda tadi dengan menjadikan pluralism sebagai titik tolaknya. Akan tetapi relativisme justru sebaliknya, menganggap semuanya sama. Substansi pluralisme sendiri adalah "toleransi" dalam melakukan interaksi satu sama lain.


     

  3. PENDIDIKAN ISLAM PLURALIS dan MULTIKULTURAL

    "Pendidikan pluralis : pendididkan yang mengandaikan kita untukmembuka visi pada cakrawala yang lebih luas serta mampu melintas batas kelompok etnis atau tradisi budaya dan agama kita, sehingga kita mampu melihat "kemanusiaan" sebagai sebuah keluarga yang memiliki perbedaan maupun kesamaan cita-cita." (Frans Magnis Suseno)


     

    "Pendidikan multikultural : proses pengembangan seluruh potensi manusiayang menghargai pluralitas dan heterogenitasnya sebagai konsekuensi keragaman budaya, etnis, suku, dan aliran (agama)." (Ainurrafiq Dawam)


     

        Secara lebih terperinci, ada beberapa aspek yang dapat dikembangkan dari konsep pendidikan Islam plurali-multikultural.

        Pertama, Pendidikan Islam pluralis-multikultural adalah pendidikan yang menghargai dan merangkul segala bentuk keragaman. Dengan demikian, diharapkan akan tumbuh kearifan dalam melihat segala bentuk keragaman yang ada.

        Kedua, Pendidikan Islam pluralis-multikultural merupakan sebuah usaha sistematis untuk membangun pengertian, pemahaman, dan kesadaran anak didik terhadap realitas yang pluralis-multikultural. Hal ini penting dilakukan, karena tanpa adanya usaha secara sistematis, realita keragaman akan dipahami secara sporadic, fragmentaris, atau bahkan memunculkan eksklusivitas yang ekstrem.

        Ketiga, Pendidikan Islam pluralis-multikultural tidak memaksa atau menolak anak didik karena persoalan identitas suku, agama, ras, golongan.

        Keempat, Pendidikan Islam pluralis-multikultural memberikan kesempatan untuk tumbuh dan berkembangannya sense of self kepada setiap anak didik.

        Pendidikan Islam pluralis-multikultural terinspirasi oleh gagasan Islam transformatif, berarti Islam yang selalu berorientasi pada upaya untuk mewujudkan cita-cita Ialam, yakni membentuk dan mengubah keadaan masyarakat kepada cita-cita Islam : membawa rahmat bagi seluruh alam.

        Landasan Filosofis pelaksanaan Pendidikan Islam pluralis-multikultural di Indonesia harus didasarkan kepada pemahaman adanya fenomena bahwa "Satu Tuhan, Banyak agama".

    Metode-metode yang dapat diterapkan dalam Pendidikan pluralis-multikultural ; model komunikatif dengan menjadikan aspek perbedaan sebagai titik tekan. Ada metode dialog dan dapat dilakukan dalam bentuk "belajar aktif" yang kemudian dapat dikembangkan dalam bentuk collaborative learning. Selain itu ada pula pembelajaran Exposition teaching yang berpusat pada guru yang masih penting juga dilakukan. Model ceramah sendiri juga dapat dilakukan dan banyak juga variasi dari pada metode ini. Model Theacer centered teaching (demonstrasi).


     

  4. PENGEMBANGAN PENDIDIKAN ISLAM KONTEKS PLURALIME

        Pengembangan pendidikan Islam disini kita pahami, dalam konteks plurallisme yaitu secara menyeluruh artinya bahwa didalam pendidikan Islam mempuyai suatu keinginanan yang luas seperti pertama (1) Pendidikan Islam tidak hanya merupakan alternatif dalam pendidikan nasional, pendidikan Islam tidak mau ditempatkan dalam kerangka 'diaklektik' atau bahkan 'diametral' dengan sistem pendidikan yang berlaku, penempatan pendidikan Islam tidak sekedar sebagai pelengkap atau memiliki sepadan dengan pendidikan pada umumnya.

        Meskipun pendekatan alternatif bukanlah suatu yang 'tabu' dalam memahami sistem pendidikan, ini jika konsisten menempatkan pendidikan sebagai 'a macroscopic social institution', Artinya pendidikan ditempatkan dalam sebua pranata sosial dengan skala persoalanya yang luas, yang bertalian dengan pola struktur dan perubahan.

    1. Perlunya Kesadaran Pluralisme

        Bangsa Indonesia sejak dini sudah mempunyai tekadnya untuk berunity in iversity atau ber-Bhineka Tunggal Ika (tunggal Ika) justru dikembangkan sebaliknya yang bhineka (dyversity) justru di SARA-kan, sehingga tampilannya menjadi monoloyalitas (kesetiaan Tunggal).

        Didalam ajaran Islam terdapat suatu pandangan yang Universal, yaitu bahwa manusia diciptakan oleh Allah sebagai mahluk yang terbaik dan termulia (Q.s. al-Tin: 5, dan al-Isra':70) serta di ciptakan dalam keaadaan suci (fitra) atau berpotensi benar. Disisi lain manusia juga diciptakan oleh Allah sebagai mahluk yang dlaif (Qs. Al-Nisa': 28), kesimpulannya potensi manusia mempunyai sifat benar dan salah, pandangan seperti ini berimplikasi pada sikap dan prilaku seorang yang agamis, Islam harus menghormati, manghargai pendapat orang lain, atau kelompok lain, dan tidak bersikat kemutlakan (absulutisme), serta tidak menerapakan faham kultus individu.

    2. Arah Pengembangan Pendidikan Agama Islam ke-Depan

        Uraian diatas menggaris bawahi bahwa arah pendidikan islam mempunyai sikap toleran , untuk mewujudkan integrasi (persatuan dan kesatuan) dalam kehidupan bermasyarakat. Dan fenomena seperti ini banyak ditentukan oleh (1) doktrin agama/ teologi agama; (2) Sikap pemahaman agama oleh pemeluknya; (3) dalam prilaku lingkungan, sosio-kultural; (4) pengaruh pemuka agama.18

        Namun demikian bangsa Indonesia yang Bhinika Tunggal Ika, pengembangan pendidikan Islam diharapkan agar tidak (1) menumbukan fanatisme buta; (2) sikap intoleran dikalangan peserta didik dan masyarakat; dan (3) memperlemah kerukunan hidup beragama, berbagsa dan bernegara19. Sebaliknya arah pengembangan pendidikan Islam diharapkan agar mampu menciptakan ukhuwa islamiyah dalam arti luas, yakni persaudaraan yang bersifat Islami (rohmatan lil 'alamiin).

  5. TANTANAGAN dan PEMBENAHAN

        Pada akhirnya kita harus melihat dan mengidentifisir tentang yang yang kita hadapi, dan kemungkinan crara menbenahi diri kita dan menjawab tantangan tersebut.

    Pertama: bagaimana cara mewujudkan suatu community Islam dalam bobot aqidah, ibadah dan akhlak yang baik, yang mempenggaruhi kehidupan individual psychologist maupun sosial organisatoris, masalah ini memang tampak idealis,sebab gerakannya menyentuh hal- hal yang lebih bersifat abstrak- conseptual.

    Kedua: mengangkat makna islam dalam persepsi-persepsi yang lebih dekat dengan phenomena sosial hari ini yang sedang dalam transformasi- structural maupun kultural.

    Ketiga: bagaimana mendayagunakan potensi-potensi Islam yang disebut muka, dalam tatanan yang efektif, koordinatif dan berencana. Tampaknya sampai sekarang belum menemukan modus yang sesuai dan tepat, yang dapat menentukan system tindakan, kegiatan yang dilakukan dalam pertemuan- pertemuan masih bersifat probalistic atau mencari kemungkin- kemungkinan dan belum langsung mencari kaitan fungsional dalam move-move kebangkitan.

    Keempat: Interest politik dikalangan umat Islam dalam ukuran nasional maupun internasional masih tamapak acak –acakan, belum berhasil secara mantap mewujudkan consensus mengenai masalah – masalah yang prinsipil yang di garap bersama, tanpa dibatasi formalitas fungsi dan profesi. Gejala pengkotakan alam Islam swasta I dan Islam pemerintah terdapat hampir di semua Negara – Negara Islam, dan tidak jarang saling pukul ang berakibat merugikan kedua belah pihak dan hanya menguntungkan pihak luar.

        Kebangkitan Islam memang sedang berlagsung, dan bagaimana resultant ( hasil ) yang akan dicapai oleh kebangkitan tersebut banyak tergantung dan factor kesanggupan dalam mengolah kesempatan dan potensi yang tersedia itu. Sedangkan bahaya yang terjadi kekhawatiran sekarang adalah terbukanya suatu "fajwah" ( gap atau jurang ) yang kian lebar Islam dan umatnya dalam proses kebangkitan ini.

    Semoga Allah terus memberikan bimbingan. Amin


     


     


     


     


     


     


     


     

    BAB III

    PENUTUP

    1. KESIMPULAN

        Pluralism dalam ilmu sosial merupakan konsep pemahaman tentang kehidupan majemuk (plural) yang harus ditata sedemikian rupa untuk menciptakan suasana saling menghargai dan menghormati guna menghindari konflik. Semetara itu, dalam pengertian yang lain, pluralisme dimaknai juga sebagai filsafat yang mengajarkan ada lebih dari satu macam "kebenaran terakhir",yang dipertentangkan dengan aliran "monisme" atau "dualisme". Pluralisme merupakan sebuah keniscayaan pada masyarakat yang plural karena pluralitas itu sendiri merupakan sebuah keniscayaan.

        Indonesia merupakan sebuah sampel masyarakat yang plural, dan sejatinya pluralisme merupakan satu hal yang tidak perlu ditolak, termasuk oleh umat Islam sebagai masyarakat dominan yang menghuni bumi Indonesia.

  1. SARAN

        Sebagai penulis mengharapkan kita semua dapat memahami apa itu pluralisme. Dan kami juga mengharpkan kritik dan saran demi kesempurnaan makalah ini, kepada teman-teman dan dosen pembimbing agar makalah ini dapat bermanfaat untuk kita semua. Amin