Jumat, 02 Mei 2014

Islam dan pluralisme

BAB I

PENDAHULUAN


 

    Tulisan ini dideskripsikan sebagai tugas mata kuliah Islam dan Isu- isu kontemporer. "Islam dan Pluralisme: Suatu Kajian terhadap Islam dan Isu- isu Kontemporer" merupakan tajuk yang dipilih untuk menjelaskan tema "Islam dan Isu- isu Pluralisme". Persoalan yang muncul kemudian bukanlah terletak pada tepat atau tidaknya tajuk ini dipilih untuk mengangkat tema pluralism sebagai salah satu isu kontemporer, akan tetapi, problem yang lebih krosial sebenarnya terletak pada tepat atau tidaknya pluralism diposisikan sebagai salah satu dari isu- isu kontemporer. Sebab, seperti yang pernah ditengarai Dawan Rahardjo dalam tulisannya yang bertajuk "Islam dan Multikulturalisme" yang dipublikasikan pada Buletin Kebebasan Edisi No II/Tahun 2007, karena pluralism cenderung dimaknai negatif sebagai paham menyamakan seluruh agama, maka ada semacam kecendrungan menarik istilah tersebut pada terminology lain yang lebih tepat, yaitu "Multikulturalisme"., karena memang terminology pluralisme dimaksud tidak dapat dimaknai secara parsial sebagaimana yang banyak muncul ditengah masnyarakat Islam.

    Selain persoalan diatas setidaknya ada dua persoalan lagi yang juga penting dikemukakan dalam tema ini:

    Pertama: menyangkut istilah "kontemporer" yang cendrong digunakan orang untuk menggambarkan istilah kekinian, tetapi tidak ada batasan yang jelas mengenai waktu yang menunjukan makna kekinian tersebut.

    Kedua: berkaitan dengan pemaknaan pluralisme itu sendiri. Ketika tema Islam dan pluralisme diangkat kepermukaan, maka ia akan menyulut keberdebatan panjang. Istilah perdebatan tentu menggambarkan adanya dua pandangan yang berbeda, tentu saja perdebatan itu tentu memiliki argumentasi masing- masing. Hal ini dapat berari bahwa pluralisme bukan paham yang ditentang seluruh umat islam dan bukan juga sebaliknya. Dengan kata lain, pluralisme melibatkan dua kelompok yang saling bertentangan, disatu pihak menerima dipihak lain menolaknya.


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 


 

BAB II

PEMBAHASAN


 

  1. MELACAK MAKNA PLURALISME AGAMA

        Puralisme berasal dari dua kata plural dan isme. Plural berarti jamak dan isme berarti paham. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa arti plural adalah jamak lebih dari satu, pluralis bersifat jamak. Dengan demikian pluralism adalah memahami dan menyadari suatu kenyataan tentang adanya kemajemukan.


     

        Dalam Wikipedia berbahasa Inggris disebutkan "In the social sciences, pluralism is a framework of interaction in which groups show sufficient respect and tolerance of each other, that they fruitfully coexist and interact without conflict or assimilation"


     

        Berdasarkan pengertian tersebut, dapat dipahami bahwa pluralism dalam ilmu sosial merupakan konsep pemahaman tentang kehidupan majemuk (plural) yang harus ditata sedemikian rupa untuk menciptakan suasana saling menghargai dan menghormati guna menghindari konflik. Semetara itu, dalam pengertian yang lain, pluralisme dimaknai juga sebagai filsafat yang mengajarkan ada lebih dari satu macam "kebenaran terakhir",yang dipertentangkan dengan aliran "monisme" atau "dualisme".

        Paham ini muncul akibat reaksi dari tumbuhnya klaim kebenaran oleh masing-masing kelompok terhadap pemikirannya sendiri. Persoalan klaim kebenaran inilah yang dianggap sebagai pemicu lahirnya radikalisasi agama, perang dan penindasan atas nama agama. Konflik horisantal antar pemeluk agama hanya akan selesai jika masing-masing agama tidak menganggap bahwa ajaran agama meraka yang paling benar. Itulah tujuan akhir dari gerakan pluralisme ; untuk menghilangkan keyakinan akan klaim kebenaran agama dan paham yang dianut, sedangkan yang lain salah.

        Dalam wacana yang berkembang berikutnya, pluralisme ternyata tidak saja menyentuh ranah filsafat dan sosiologi, akan tetapi pembahasannya juga turut menyentuh wilayah teologi, bahkan yang terakhir lebih dominan dimakna dari dua aspek sebelumnya (filsafat dan sosiologi). Seperti yang dikatakan Eko Marhaendy beliau, pernah menemukan sebuah artikel bertajuk "Pluralisme Sosiologis Yes, Pluralisme Agama No", karennaya dalam konetks ini pluralisme mulai dilihat dari dua dimensi: sosiologis dan teologis. Pluralisme sosiologis menjadi semacam kondisi yang dapat dimaklumi (yes), sebaliknya pada ranah teologi pluralism masih sulit untuk diterima (no). Namun demikian yang tak kalah menarik, pada saat yang sama demikian banyak opini yang muncul dari dunia Islam mengatakan "No" untuk istilah pluralism dengan alasan apapun.

        Pluralitas yang muncul dalam proses kehidupan bangsa kita ada dua macam, yakni horizontal dan vertikal. Pluralitas horizontal seperti perbedaan etnis atau ras, dan agama. Pluralitas vertikal adalah adalah perbedaan peran politik antara rakyat dengan penguasa, dalam kemampuan ekonomi antara kaya dan miskin, dan dalam tingkat pendidikan antara kaum terpelajar dengan masyarakat awam.

        Manusia sebagai mahkluk sosial dan budaya juga tidak lepas dari kemajemukan tersebut. Kemajemukannya dapat dilihat dari bangsa, suku, bahasa, budaya adat istiadat, tradisi agama.

        Pluralism agama di Indonesia adalah suatu kenyataan sejarah yang tidak bisa diingkari, dan real sebagai suatu kenyataan sejak ratusan tahun yang lalu. Lantas menyatukannya dalam suatu kesatuan, suatu agama adalah suatu yang mustahil, akan tetapi upaya untuk saling adanya understanding diantara penganut agama tersebut adalah suatu yang mungkin dan sangat mungkin dilakukan. Kebijakan inilah yang dilakukan dalam menyikapi pluralisme agama di Indonesia. Pluralisme itu sebenarnya dapat dibagi dua macam pluralism antaragama, yakni terjadinya perbedaan antaragama seperti Islam, Kristen, Hindu, Budha. Dan yang terjadi di dalam lingkungan agama ini terjadi karena adanya perbedaan pemahaman dalam penafsiran kitab suci

        Seperti yang telah diungkapkan terdahulu bahwa dualisme itu di satu sisi adalah merupakan kekayaan dan khazanah, tetapi juga dapat menimbulkan petaka yang serius. Berkenaan dengan ini perlu disampaikan ada beberapa hal yang menyebabkan timbulnya konflik. Tirmizi Thaher mengungkapkan hal ini, sebagai berikut:

    1. Umat beragama sering bersikap untuk memonopoli kebenaran ajaran agamanya dan hal ini dapat memicu umat lain untuk mengadakan "perang suci" yang mengatasnamakan agama.
    2. Merasa benar sendiri sehingga tak ada ruang dialog kritis.
    3. Sikap tersebut dapat membawa implikasi.


     

  2. RESPON ISLAM TERHADAP PLURALISME

    Jika pluralisme agama pada mulanya merupakan wacana yang berkembang di dunia Kristen, pertanyaan yang cukup akurat dikemukakan adalah: bagaimana respon Islam terhadapnya?. Pada prinsipnya, secara sederhana pertanyaan ini telah terjawab melalui paparan terdahulu, bahwa di dunia Islam ada kelompok yang menolak pluralisme tapi ada juga yang menerima, bahkan membelanya. Kelompok yang menolak pluralisme agama memiliki argumen tersendiri yang secara nyata disandarkan kepada Al Qur'an.

    Demikian halnya kelompok yang menerima pluralisme, mereka juga memiliki argumentasi tersendiri yang jelas-jelas disandarkan kepada Al Qur'an yang sama. Pertanyaan (awam) yang kemudian muncul adalah: mana yang benar dari keduanya? Kalau pertanyaan ini dijawab dengan prinsip-prinsip "pluralisme", maka kemungkinan jawaban yang akan diterima adalah: keduanya benar, dan atau, keduanya biasa saja benar tapi bisa juga salah., Perbedaan pandangan yang terjadi di dunia Islam terkait bagaimana "Islam" merespon wacana pluralisme pada dasarnya terletak pada perbedaan dalam memahami pluralisme itu sendiri. Istilah Islam yang diberikan tanda kutip ditekankan sebagai bentuk peniscayaan tentang pluralisme itu sendiri. Berbicara mengenai Islam dari aspek manapun, biasanya membicarakan sesuatu yang banyak atau beragam. Ajiz Azmeh sebagaimana dikutip Luthfi Assyaukanie menyebutkan tidak ada satu Islam, karena Islam selalu tampil dengan wajah yang banyak. Berangkat dari pandangan tersebut Luthfi kemudian menegaskan bahwa apa yang disebut Islam ideal sesungguhnya tidak ada, yang ada hanyalah Islam Sunni, Islam Syiah, Islam NU dan lain-lain. Bagi kalangan yang cenderung liberal, keaneragaman wajah Islam tersebut dipandang sebagai sebuah keniscayaan, mengingat Islam telah melewati sejarah selama lima belas abad hingga mengalami perkembangan yang demikian jauh melampaui Islam awal. Mengingat Islam memiliki wajah yang beragam (plural), maka penulis tidak berpretensi mengemukakan pandangan (repon) Islam terhadap pluralisme hanya pada satu pandangan saja, akan tetapi berupaya mengedepankan keduanya (yang menentang maupun yang menerima). Namun demikian, sekali lagi perlu ditekankan bahwa perbedaan keduanya terjadi karena perbedaan dalam memaknai pluralisme itu sendiri. Kelompok yang menolak pluralisme agama memahami pluralisme agama tersebut sebagai pahak yang berupaya menyamakan seluruh agama yang ada, sebaliknya kelompok yang menerima tidak demikian. Karenanya, dalam perdebatan tentang pluralisme agama boleh jadi keduanya sedang mempersoalkan satu terminologi dengan barang yang berbeda. luralisme merupakan sebuah keniscayaan pada masyarakat yang plural karena pluralitas itu sendiri merupakan sebuah keniscayaan.

    Indonesia merupakan sebuah sampel masyarakat yang plural, dan sejatinya pluralisme merupakan satu hal yang tidak perlu ditolak, termasuk oleh umat Islam sebagai masyarakat dominan yang menghuni bumi Indonesia. Umat Islam bahkan tidak dapat memungkiri bahwa pluralitas merupakan fakta nyata, lantas bagaimana pada saat yang sama pluralisme―sebagai yang lahir dari pluralitas―ditolak oleh. Dalam sebuah kesempatan penulis pernah berdialog dengan aktivis HTI seputar khilafah Islamiyah, penulis bertanya: seandainya cita-cita membangun khilafah Islamiyah yang diperjuangkan rekan-rekan HTI dapat terwujud suatu saat, apakah pemerintahan Islam (khilafah Islamiyah) ketika itu bisa mengakomodir kelompok-kelompok semisal Jamaah Ahmadiyah, JIL atau komunitas Lia Eden – misalnya, sebagai sebuah realitas pada wilayah kekuasaannya?, tanpa celah panjang aktivis HTI tadi menjawab "bisa", bahkan ditopang dengan argumentasi bahwa

    Rasulullah pernah menjadikan seorang Yahudi sebagai salah satu juru tulisnya. Ini merupakan sebuah jawaban luar biasa yang menunjukkan bahwa kelompok semisal HTI yang cenderung dikategorikan radikal juga tidak mengingkari pluralitas, justru memberikan jaminan terhadap pluralitas (dengan mengakomodir berbagai kelompok tadi). Tidak ada pluralisme tanpa pluralitas, demikian sebaliknya, pluralitas mustahil dibangun tanpa pluralisme, yang akan lahir justur disintegrasi jika masyarakat yang plural tidak dibungun atas sebuah pemahaman yang sama ditengah aneka macam perbedaan. Karenanya, bagi masyarakat yang plural, pluralism mestilah menjadi sebuah keharusan. Memang cukup aneh ketika terjadi penolakan terhadap pluralisme oleh umat Islam yang hidup ditengah masyarakat yang plural, terlebih Indonesia. MUI misalnya, sebagai lembaga tempat berkiblat umat Islam Indonesia, tidak mengingkari pluralistas sebagai sebuah keniscayaan, namun tetap mengharamkan pluralism (agama) sebagai faham yang harus dihindari umat Islam.11 Jalaluddin Rakhmat bahkan menyebut MUI tidak paham dengan "pluralisme sebagai gejala sosiologis", sembari menempatkan Dawam Rahardjo sebagai pluralisme politis, serta mengisyaratkan dirinya sebagai pluralisme teologis. Jika demikian, wajarlah pluralisme mendapat penolakan karena maknanya sendiri masih bias dan belum mampu dirumuskan dengan pemahaman yang satu. Sepanjang yang pernah penulis baca dan coba pahami, beberapa tokoh pluralis ternyata mengkonsentrasikan pemikiran dan sikap pluralismenya pada beberapa persoalan yang berbeda, sungguhpun masih memiliki keterkaitan satu dengan yang lainnya.

    Keterkaitan tersebut dapat dilihat dari visinya yang sama, yaitu menumbuhkan sikap toleran tanpa konflik dalam membangun interaksi terhadap yang lainnya. Pluralisme diyakini lahir sebagai gejala sosiologis seperti ditegaskan pada bagian terdahulu dengan kesadaran bahwa keanekaragaman (pluralitas) merupakan sebuah keniscayaan. Karenanya, perlu dibangun sebuah kesepemahaman guna menghindari konflik dan benturan dalam interaksi individu maupun kelompok. Menurut hemat penulis, pluralisme dan relativisme – atau sejenisnya, mestila menjadi dua persoalan yang harus dapat dibedakan. Pluralisme berangkat dari kesadaran bahwa perbedaan itu merupakan sebuah keniscayaan, kita hanya dapat berafilisai dengan komunitas yang berbeda tadi dengan menjadikan pluralism sebagai titik tolaknya. Akan tetapi relativisme justru sebaliknya, menganggap semuanya sama. Substansi pluralisme sendiri adalah "toleransi" dalam melakukan interaksi satu sama lain.


     

  3. PENDIDIKAN ISLAM PLURALIS dan MULTIKULTURAL

    "Pendidikan pluralis : pendididkan yang mengandaikan kita untukmembuka visi pada cakrawala yang lebih luas serta mampu melintas batas kelompok etnis atau tradisi budaya dan agama kita, sehingga kita mampu melihat "kemanusiaan" sebagai sebuah keluarga yang memiliki perbedaan maupun kesamaan cita-cita." (Frans Magnis Suseno)


     

    "Pendidikan multikultural : proses pengembangan seluruh potensi manusiayang menghargai pluralitas dan heterogenitasnya sebagai konsekuensi keragaman budaya, etnis, suku, dan aliran (agama)." (Ainurrafiq Dawam)


     

        Secara lebih terperinci, ada beberapa aspek yang dapat dikembangkan dari konsep pendidikan Islam plurali-multikultural.

        Pertama, Pendidikan Islam pluralis-multikultural adalah pendidikan yang menghargai dan merangkul segala bentuk keragaman. Dengan demikian, diharapkan akan tumbuh kearifan dalam melihat segala bentuk keragaman yang ada.

        Kedua, Pendidikan Islam pluralis-multikultural merupakan sebuah usaha sistematis untuk membangun pengertian, pemahaman, dan kesadaran anak didik terhadap realitas yang pluralis-multikultural. Hal ini penting dilakukan, karena tanpa adanya usaha secara sistematis, realita keragaman akan dipahami secara sporadic, fragmentaris, atau bahkan memunculkan eksklusivitas yang ekstrem.

        Ketiga, Pendidikan Islam pluralis-multikultural tidak memaksa atau menolak anak didik karena persoalan identitas suku, agama, ras, golongan.

        Keempat, Pendidikan Islam pluralis-multikultural memberikan kesempatan untuk tumbuh dan berkembangannya sense of self kepada setiap anak didik.

        Pendidikan Islam pluralis-multikultural terinspirasi oleh gagasan Islam transformatif, berarti Islam yang selalu berorientasi pada upaya untuk mewujudkan cita-cita Ialam, yakni membentuk dan mengubah keadaan masyarakat kepada cita-cita Islam : membawa rahmat bagi seluruh alam.

        Landasan Filosofis pelaksanaan Pendidikan Islam pluralis-multikultural di Indonesia harus didasarkan kepada pemahaman adanya fenomena bahwa "Satu Tuhan, Banyak agama".

    Metode-metode yang dapat diterapkan dalam Pendidikan pluralis-multikultural ; model komunikatif dengan menjadikan aspek perbedaan sebagai titik tekan. Ada metode dialog dan dapat dilakukan dalam bentuk "belajar aktif" yang kemudian dapat dikembangkan dalam bentuk collaborative learning. Selain itu ada pula pembelajaran Exposition teaching yang berpusat pada guru yang masih penting juga dilakukan. Model ceramah sendiri juga dapat dilakukan dan banyak juga variasi dari pada metode ini. Model Theacer centered teaching (demonstrasi).


     

  4. PENGEMBANGAN PENDIDIKAN ISLAM KONTEKS PLURALIME

        Pengembangan pendidikan Islam disini kita pahami, dalam konteks plurallisme yaitu secara menyeluruh artinya bahwa didalam pendidikan Islam mempuyai suatu keinginanan yang luas seperti pertama (1) Pendidikan Islam tidak hanya merupakan alternatif dalam pendidikan nasional, pendidikan Islam tidak mau ditempatkan dalam kerangka 'diaklektik' atau bahkan 'diametral' dengan sistem pendidikan yang berlaku, penempatan pendidikan Islam tidak sekedar sebagai pelengkap atau memiliki sepadan dengan pendidikan pada umumnya.

        Meskipun pendekatan alternatif bukanlah suatu yang 'tabu' dalam memahami sistem pendidikan, ini jika konsisten menempatkan pendidikan sebagai 'a macroscopic social institution', Artinya pendidikan ditempatkan dalam sebua pranata sosial dengan skala persoalanya yang luas, yang bertalian dengan pola struktur dan perubahan.

    1. Perlunya Kesadaran Pluralisme

        Bangsa Indonesia sejak dini sudah mempunyai tekadnya untuk berunity in iversity atau ber-Bhineka Tunggal Ika (tunggal Ika) justru dikembangkan sebaliknya yang bhineka (dyversity) justru di SARA-kan, sehingga tampilannya menjadi monoloyalitas (kesetiaan Tunggal).

        Didalam ajaran Islam terdapat suatu pandangan yang Universal, yaitu bahwa manusia diciptakan oleh Allah sebagai mahluk yang terbaik dan termulia (Q.s. al-Tin: 5, dan al-Isra':70) serta di ciptakan dalam keaadaan suci (fitra) atau berpotensi benar. Disisi lain manusia juga diciptakan oleh Allah sebagai mahluk yang dlaif (Qs. Al-Nisa': 28), kesimpulannya potensi manusia mempunyai sifat benar dan salah, pandangan seperti ini berimplikasi pada sikap dan prilaku seorang yang agamis, Islam harus menghormati, manghargai pendapat orang lain, atau kelompok lain, dan tidak bersikat kemutlakan (absulutisme), serta tidak menerapakan faham kultus individu.

    2. Arah Pengembangan Pendidikan Agama Islam ke-Depan

        Uraian diatas menggaris bawahi bahwa arah pendidikan islam mempunyai sikap toleran , untuk mewujudkan integrasi (persatuan dan kesatuan) dalam kehidupan bermasyarakat. Dan fenomena seperti ini banyak ditentukan oleh (1) doktrin agama/ teologi agama; (2) Sikap pemahaman agama oleh pemeluknya; (3) dalam prilaku lingkungan, sosio-kultural; (4) pengaruh pemuka agama.18

        Namun demikian bangsa Indonesia yang Bhinika Tunggal Ika, pengembangan pendidikan Islam diharapkan agar tidak (1) menumbukan fanatisme buta; (2) sikap intoleran dikalangan peserta didik dan masyarakat; dan (3) memperlemah kerukunan hidup beragama, berbagsa dan bernegara19. Sebaliknya arah pengembangan pendidikan Islam diharapkan agar mampu menciptakan ukhuwa islamiyah dalam arti luas, yakni persaudaraan yang bersifat Islami (rohmatan lil 'alamiin).

  5. TANTANAGAN dan PEMBENAHAN

        Pada akhirnya kita harus melihat dan mengidentifisir tentang yang yang kita hadapi, dan kemungkinan crara menbenahi diri kita dan menjawab tantangan tersebut.

    Pertama: bagaimana cara mewujudkan suatu community Islam dalam bobot aqidah, ibadah dan akhlak yang baik, yang mempenggaruhi kehidupan individual psychologist maupun sosial organisatoris, masalah ini memang tampak idealis,sebab gerakannya menyentuh hal- hal yang lebih bersifat abstrak- conseptual.

    Kedua: mengangkat makna islam dalam persepsi-persepsi yang lebih dekat dengan phenomena sosial hari ini yang sedang dalam transformasi- structural maupun kultural.

    Ketiga: bagaimana mendayagunakan potensi-potensi Islam yang disebut muka, dalam tatanan yang efektif, koordinatif dan berencana. Tampaknya sampai sekarang belum menemukan modus yang sesuai dan tepat, yang dapat menentukan system tindakan, kegiatan yang dilakukan dalam pertemuan- pertemuan masih bersifat probalistic atau mencari kemungkin- kemungkinan dan belum langsung mencari kaitan fungsional dalam move-move kebangkitan.

    Keempat: Interest politik dikalangan umat Islam dalam ukuran nasional maupun internasional masih tamapak acak –acakan, belum berhasil secara mantap mewujudkan consensus mengenai masalah – masalah yang prinsipil yang di garap bersama, tanpa dibatasi formalitas fungsi dan profesi. Gejala pengkotakan alam Islam swasta I dan Islam pemerintah terdapat hampir di semua Negara – Negara Islam, dan tidak jarang saling pukul ang berakibat merugikan kedua belah pihak dan hanya menguntungkan pihak luar.

        Kebangkitan Islam memang sedang berlagsung, dan bagaimana resultant ( hasil ) yang akan dicapai oleh kebangkitan tersebut banyak tergantung dan factor kesanggupan dalam mengolah kesempatan dan potensi yang tersedia itu. Sedangkan bahaya yang terjadi kekhawatiran sekarang adalah terbukanya suatu "fajwah" ( gap atau jurang ) yang kian lebar Islam dan umatnya dalam proses kebangkitan ini.

    Semoga Allah terus memberikan bimbingan. Amin


     


     


     


     


     


     


     


     

    BAB III

    PENUTUP

    1. KESIMPULAN

        Pluralism dalam ilmu sosial merupakan konsep pemahaman tentang kehidupan majemuk (plural) yang harus ditata sedemikian rupa untuk menciptakan suasana saling menghargai dan menghormati guna menghindari konflik. Semetara itu, dalam pengertian yang lain, pluralisme dimaknai juga sebagai filsafat yang mengajarkan ada lebih dari satu macam "kebenaran terakhir",yang dipertentangkan dengan aliran "monisme" atau "dualisme". Pluralisme merupakan sebuah keniscayaan pada masyarakat yang plural karena pluralitas itu sendiri merupakan sebuah keniscayaan.

        Indonesia merupakan sebuah sampel masyarakat yang plural, dan sejatinya pluralisme merupakan satu hal yang tidak perlu ditolak, termasuk oleh umat Islam sebagai masyarakat dominan yang menghuni bumi Indonesia.

  1. SARAN

        Sebagai penulis mengharapkan kita semua dapat memahami apa itu pluralisme. Dan kami juga mengharpkan kritik dan saran demi kesempurnaan makalah ini, kepada teman-teman dan dosen pembimbing agar makalah ini dapat bermanfaat untuk kita semua. Amin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar